Kisah Tari Tor Tor yang 'Menggiurkan' Malaysia
Sudah dikenal sejak zaman nenek moyang suku Batak.
Negeri Jiran Malaysia kembali menuai kontroversi. Seperti yang telah ramai diberitakan, pemerintah Maaysia akan segera mematenkan tari Tor Tor sebagai bagian dari budaya Malaysia. Padahal tarian yang sebenarnya bernama Manortor tersebut sudah dikenal masyarakat dunia sebagai tarian khas daerah Sumatera Utara.
Tarian budaya suku Batak tersebut seringkali muncul di televisi sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Hampir setiap turis asing yang telah mengunjungi Sumatera Utara, kerap disambut dengan tarian Tor Tor. Apalagi jika ada acara-acara resmi yang dilakukan pemerintah untuk menyambut para wisatawan asing tersebut.
Bahkan dalam pelajaran sekolah di Indonesia, tari Tor Tor sudah diperkenalkan sebagai ciri khas masyarakat Sumatera Utara, khususnya suku Batak.
Sejarah Tari Tor Tor
Nuansa seni tari Tor Tor atau Manortor tersebut memang memiliki gerakan yang unik yakni garakan tangan dan tubuh yang kaku, gerakan kaki berjinjit. Gerakan tersebut diiringi dengan iringan musik (Marhondang) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak dan beberapa alat musik khas lainnya.
Jenis tarian Tor Tor berbeda-beda. Ada yang dinamakan Tor Tor Pangurason (tari pembersihan), Tor Tor Sipitu Cawan (tari tujuh cawan) dan Tor Tor Tunggal Panaluan. Jika pada Tor Tor Pangurason digelar saat pesta besar untuk pembersihan tempat dan lokasi agar terbebas dari mara bahaya, Tor Tor Sipitu Cawan dilakukan untuk mengukuhkan seorang raja. Sementara itu Tor Tor Tunggal Panaluan digelar jika suatu desa dilanda musibah. Biasanya tari Tor Tor ini dilakukan para dukun untuk mencari solusi masalah tersebut.
Dari jenis tari dan maksudnya, Tari Tor Tor selalu berhubungan dengan roh. Menurut sejarahnya, tari Tor Tor memang dilakukan untuk memanggil para roh agar masuk ke dalam patung-patung batu yang merupakan simbol dari para leluhur. Karena itu gerakan Tor Tor adalah kaku karena dipercaya para roh melakukan tarian itu juga.
Namun saat ini, Tari Tor Tor sudah tidak lagi diasumsikan lekat dengan dunia roh. Tari Tor Tor menjadi sebuah budaya dan seni yang dikenal masyarakat dunia sebagai budaya tanah air.
Keindahan gerakan tari penuh makna
Paar penari Tor Tor tidak sembarangan melakukan gerakannya. Sejumlah pantangan tidak boleh dilakukan sang penari, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas. Bila itu dilakukan, berarti si penari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu 'perdukunan' atau bela diri atau ilmu tenaga dalam lainnya.
Secara garis besar, terdapat empat gerakan dalam tarian Tor Tor yang sering disebut urdot. Pertama adalah Pangurdot, gerakan yang dilakukan kaki, tumit sampai bahu. Lalu yang kedua adalah Pangeal, merupakan gerakan yang dilakukan pinggang, tulang punggung sampai bahu/sasap. Selanjutnya yang ketiga adalah Pendenggal, yakni gerakan tangan, telapak tangan dan jari-jarinya. Sementara itu gerakan keempat adalah Siangkupna yakni menggerakan bagian leher. Ulos atau kain khas suku Batak harus digunakan bagi para penari Tor Tor.
Menariknya, keindahan tari Tor Tor akan tampak jika si penarinya memiliki perasaan terhadap tujuan dari tariannya itu. Misalnya si penari melakukan tarian untuk orangtua yang meninggal. Akan tampak tarian tersebut memiliki 'roh' dan dapat menggetarkan siapa saja yang melihatnya.
Tarian Tor Tor juga akan tampak indah, jika si penarinya benar-benar tulus memberikan ucapan selamat datang dan rasa hormat kepada para tamu yang datang dalam sebuah perhelatan atau penyambutan wisatawan.
Tarian budaya suku Batak tersebut seringkali muncul di televisi sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia. Hampir setiap turis asing yang telah mengunjungi Sumatera Utara, kerap disambut dengan tarian Tor Tor. Apalagi jika ada acara-acara resmi yang dilakukan pemerintah untuk menyambut para wisatawan asing tersebut.
Bahkan dalam pelajaran sekolah di Indonesia, tari Tor Tor sudah diperkenalkan sebagai ciri khas masyarakat Sumatera Utara, khususnya suku Batak.
Sejarah Tari Tor Tor
Nuansa seni tari Tor Tor atau Manortor tersebut memang memiliki gerakan yang unik yakni garakan tangan dan tubuh yang kaku, gerakan kaki berjinjit. Gerakan tersebut diiringi dengan iringan musik (Marhondang) yang dimainkan dengan alat-alat musik tradisional seperti gondang, suling, terompet batak dan beberapa alat musik khas lainnya.
Jenis tarian Tor Tor berbeda-beda. Ada yang dinamakan Tor Tor Pangurason (tari pembersihan), Tor Tor Sipitu Cawan (tari tujuh cawan) dan Tor Tor Tunggal Panaluan. Jika pada Tor Tor Pangurason digelar saat pesta besar untuk pembersihan tempat dan lokasi agar terbebas dari mara bahaya, Tor Tor Sipitu Cawan dilakukan untuk mengukuhkan seorang raja. Sementara itu Tor Tor Tunggal Panaluan digelar jika suatu desa dilanda musibah. Biasanya tari Tor Tor ini dilakukan para dukun untuk mencari solusi masalah tersebut.
Dari jenis tari dan maksudnya, Tari Tor Tor selalu berhubungan dengan roh. Menurut sejarahnya, tari Tor Tor memang dilakukan untuk memanggil para roh agar masuk ke dalam patung-patung batu yang merupakan simbol dari para leluhur. Karena itu gerakan Tor Tor adalah kaku karena dipercaya para roh melakukan tarian itu juga.
Namun saat ini, Tari Tor Tor sudah tidak lagi diasumsikan lekat dengan dunia roh. Tari Tor Tor menjadi sebuah budaya dan seni yang dikenal masyarakat dunia sebagai budaya tanah air.
Keindahan gerakan tari penuh makna
Paar penari Tor Tor tidak sembarangan melakukan gerakannya. Sejumlah pantangan tidak boleh dilakukan sang penari, seperti tangan si penari tidak boleh melewati batas setinggi bahu ke atas. Bila itu dilakukan, berarti si penari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu 'perdukunan' atau bela diri atau ilmu tenaga dalam lainnya.
Secara garis besar, terdapat empat gerakan dalam tarian Tor Tor yang sering disebut urdot. Pertama adalah Pangurdot, gerakan yang dilakukan kaki, tumit sampai bahu. Lalu yang kedua adalah Pangeal, merupakan gerakan yang dilakukan pinggang, tulang punggung sampai bahu/sasap. Selanjutnya yang ketiga adalah Pendenggal, yakni gerakan tangan, telapak tangan dan jari-jarinya. Sementara itu gerakan keempat adalah Siangkupna yakni menggerakan bagian leher. Ulos atau kain khas suku Batak harus digunakan bagi para penari Tor Tor.
Menariknya, keindahan tari Tor Tor akan tampak jika si penarinya memiliki perasaan terhadap tujuan dari tariannya itu. Misalnya si penari melakukan tarian untuk orangtua yang meninggal. Akan tampak tarian tersebut memiliki 'roh' dan dapat menggetarkan siapa saja yang melihatnya.
Tarian Tor Tor juga akan tampak indah, jika si penarinya benar-benar tulus memberikan ucapan selamat datang dan rasa hormat kepada para tamu yang datang dalam sebuah perhelatan atau penyambutan wisatawan.
Penulis: Berbagai sumber/Teddy Kurniawan
Kemendikbud Cek Kebenaran Malaysia Klaim Tor Tor
Jika pernyataan Malaysia merupakan klaim sepihak jelas pemerintah RI akan bersikap.
Juru bicara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), Ibnu Hamad, mengatakan akan mengkonfimasi pemberitaan soal Malaysia mengklaim Tari Tor Tor dan alat musik Gondang Sambilan yang merupakan budaya khas masyarakat Mandailing di Sumatra Utara, sebagai warisan nasional Malaysia.
"Kami akan cek ulang informasi tersebut. Seandainya betul, saya harap pihak Malaysia tidak melupakan kasus-kasus klaim budaya yang sudah terjadi sebelumnya dan menimbulkan protes dari masyarakat Indonesia. Ini menjadi kontraproduktif dalam hubungan Indonesia dan Malaysia," kata Ibnu, ketika dihubungi Minggu (17/6).
Kantor berita Malaysia, Bernama, memberitakan pada Jumat lalu, Menteri Budaya, Komunikasi dan Informasi Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim, mengatakan Tari Tor Tor dan Gordang Sembilan akan diakui dalam Undang-Undang Warisan Nasional 2005.
Hal itu dikatakan Rais ketika meresmikan peluncuran Komunitas Mandailing di Kuala Lumpur dan mengatakan mempromosikan seni dan budaya Mandailing adalah penting karena dapat memamerkan asal muasalnya, selain juga mengembangkan persatuan dengan komunitas-komunitas lain dan sejalan dengan konsep 1 Malaysia.
"Sebaiknya Malaysia memberi klarifikasi apa tujuan yang sebebarnya dengan mendaftarkan tarian Tor Tor ke dalam Warisan Nasional mereka. Jika tujuannya merupakan pengakuan pemilikan sepihak, jelas tidak dapat kita terima," kata Ibnu lebih lanjut.
Tarian Tor Tor, tambah Ibnu, adalah sudah jelas merupakan bagian dari masyarakat Batak Mandailing, yang menjadikan tarian tersebut untuk menghormati leluhur mereka.
Adapun sejarah serta perkembangan tarian tersebut adalah bagian dari sejarah dan kehidupan suku adat Batak Mandailing.
"Kami akan cek ulang informasi tersebut. Seandainya betul, saya harap pihak Malaysia tidak melupakan kasus-kasus klaim budaya yang sudah terjadi sebelumnya dan menimbulkan protes dari masyarakat Indonesia. Ini menjadi kontraproduktif dalam hubungan Indonesia dan Malaysia," kata Ibnu, ketika dihubungi Minggu (17/6).
Kantor berita Malaysia, Bernama, memberitakan pada Jumat lalu, Menteri Budaya, Komunikasi dan Informasi Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim, mengatakan Tari Tor Tor dan Gordang Sembilan akan diakui dalam Undang-Undang Warisan Nasional 2005.
Hal itu dikatakan Rais ketika meresmikan peluncuran Komunitas Mandailing di Kuala Lumpur dan mengatakan mempromosikan seni dan budaya Mandailing adalah penting karena dapat memamerkan asal muasalnya, selain juga mengembangkan persatuan dengan komunitas-komunitas lain dan sejalan dengan konsep 1 Malaysia.
"Sebaiknya Malaysia memberi klarifikasi apa tujuan yang sebebarnya dengan mendaftarkan tarian Tor Tor ke dalam Warisan Nasional mereka. Jika tujuannya merupakan pengakuan pemilikan sepihak, jelas tidak dapat kita terima," kata Ibnu lebih lanjut.
Tarian Tor Tor, tambah Ibnu, adalah sudah jelas merupakan bagian dari masyarakat Batak Mandailing, yang menjadikan tarian tersebut untuk menghormati leluhur mereka.
Adapun sejarah serta perkembangan tarian tersebut adalah bagian dari sejarah dan kehidupan suku adat Batak Mandailing.
Sosiolog: Jangan Sampai Isu Tari Tor Tor Jadi Bola Liar
Masalah klaim budaya ini cukup kompleks karena masyarakat Malaysia dan Indonesia memang sudah bercampur baur.
Tari Tor Tor |
Sosiolog dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Ciputat, Musni Umar, mengatakan Malaysia sebaiknya berkomunikasi dengan Indonesia sebelum memasukkan Tarian Tor Tor dan alat musik Gondang Sambilan (Sembilan Gendang Besar), dalam Undang-Undang Warisan Nasional-nya.
Hal itu untuk menghindari salah paham antara Malaysia dan Indonesia.
"Masalah ini sangat kompleks, karena sejarahnya masyarakat Melayu ada di Malaysia dan Indonesia yang satu rumpun. Budayanya sudah tercampur baur," ujar Musni, yang merupakan anggota dari Kumpulan Tokoh Terkemuka atau Eminent Persons Group Indonesia-Malaysia, ketika dihubungi, Minggu (17/6).
Musni mengatakan komunikasi dengan Indonesia menjadi perlu untuk menghindari isu ini dapat menimbulkan lagi protes dan antipati terhadap Malaysia terutama di kalangan muda Indonesia.
Sebelum mendaftarkan dua jenis budaya Mandailing itu dalam daftar warisan nasionalnya, Musni mengatakan diperjelas dulu bagaimana posisi Indonesia terkait Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan.
"Jangan sampai hal itu disalahartikan sebagai upaya mengklaim budaya Indonesia. Kita tidak ingin isu ini menjadi bola liar yang bisa dieksploitasi pihak-pihak tertentu di Indonesia yang bisa mempengaruhi hubungan Indonesia dan Malaysia," ujar Musni.
Mandailing adalah salah satu etnis masyarakat yang ada di Sumatra Utara. Menurut situs web Mandailing.org, terjadi perantauan besar-besaran oleh masyarakat Mandailing ke pesisir barat Malaysia pada beberapa dekade pertama abad ke 19 akibat Perang Paderi.
Hingga kini keturunan orang-orang Mandailing masih banyak berada di wilayah negara bagian Negeri Sembilan, Perak, Pahang, dan Selangor di Malaysia.
Kantor berita Malaysia, Bernama, memberitakan pada Jumat bahwa Menteri Budaya, Komunikasi dan Informasi Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim, mengatakan Tari Tor Tor dan Gondang Sembilan akan diakui dalam Undang-Undang Warisan Nasional 2005.
Hal itu dikatakan Rais ketika meresmikan peluncuran Komunitas Mandailing di Kuala Lumpur dan mengatakan siap mempromosikan seni dan budaya Mandailing.
Pasalnya, itu hal penting karena dapat memamerkan asal muasalnya, selain juga mengembangkan persatuan dengan komunitas-komunitas lain dan sejalan dengan konsep 1 Malaysia.
Hal itu untuk menghindari salah paham antara Malaysia dan Indonesia.
"Masalah ini sangat kompleks, karena sejarahnya masyarakat Melayu ada di Malaysia dan Indonesia yang satu rumpun. Budayanya sudah tercampur baur," ujar Musni, yang merupakan anggota dari Kumpulan Tokoh Terkemuka atau Eminent Persons Group Indonesia-Malaysia, ketika dihubungi, Minggu (17/6).
Musni mengatakan komunikasi dengan Indonesia menjadi perlu untuk menghindari isu ini dapat menimbulkan lagi protes dan antipati terhadap Malaysia terutama di kalangan muda Indonesia.
Sebelum mendaftarkan dua jenis budaya Mandailing itu dalam daftar warisan nasionalnya, Musni mengatakan diperjelas dulu bagaimana posisi Indonesia terkait Tari Tor Tor dan Gondang Sambilan.
"Jangan sampai hal itu disalahartikan sebagai upaya mengklaim budaya Indonesia. Kita tidak ingin isu ini menjadi bola liar yang bisa dieksploitasi pihak-pihak tertentu di Indonesia yang bisa mempengaruhi hubungan Indonesia dan Malaysia," ujar Musni.
Mandailing adalah salah satu etnis masyarakat yang ada di Sumatra Utara. Menurut situs web Mandailing.org, terjadi perantauan besar-besaran oleh masyarakat Mandailing ke pesisir barat Malaysia pada beberapa dekade pertama abad ke 19 akibat Perang Paderi.
Hingga kini keturunan orang-orang Mandailing masih banyak berada di wilayah negara bagian Negeri Sembilan, Perak, Pahang, dan Selangor di Malaysia.
Kantor berita Malaysia, Bernama, memberitakan pada Jumat bahwa Menteri Budaya, Komunikasi dan Informasi Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim, mengatakan Tari Tor Tor dan Gondang Sembilan akan diakui dalam Undang-Undang Warisan Nasional 2005.
Hal itu dikatakan Rais ketika meresmikan peluncuran Komunitas Mandailing di Kuala Lumpur dan mengatakan siap mempromosikan seni dan budaya Mandailing.
Pasalnya, itu hal penting karena dapat memamerkan asal muasalnya, selain juga mengembangkan persatuan dengan komunitas-komunitas lain dan sejalan dengan konsep 1 Malaysia.
Budayawan : Sejarah Tari Tor Tor ke Malaysia
Tari Tor Tor |
Saling menghormati dan mengakui di mana budaya itu lahir, berkembang dan dilestarikan tanpa mengklaim kepemilikannya.
Budayawan dan penyair Sitok Srengenge mengatakan bahwa kebudayaan bukanlah suatu barang mati yang statis dan tidak selalu terkotak-kotak dalam wilayah politik tertentu.
Sitok mengatakan hal itu menyusul berita yang dilansir kantor berita Malaysia, Bernama, Malaysia akan mencatat budaya masyarakat Mandailing, Tari Tor Tor dan alat musik Gordang Sembilan, dalam Undang-Undang Warisan Nasional 2005, yang dinyatakan oleh Menteri Budaya, Komunikasi dan Informasi Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim setelah menghadiri peluncuran Komunitas Mandailing di Kuala Lumpur pada hari Jumat (15/6).
Rais mengatakan bahwa mempromosikan seni dan budaya Mandailing adalah penting karena dapat memamerkan asal muasalnya, selain juga mengembangkan persatuan dengan komunitas-komunitas lain dan sejalan dengan konsep 1 Malaysia.
“Budaya bisa berkembang atau mati. Budaya bisa berkembang tidak hanya di satu tempat tapi bisa ke wilayah politik yang lain. Tari Tor Tor, bisa jadi sudah ada sebagai suatu budaya sebelum ada suatu wilayah politik yang bernama Indonesia,” ujar Sitok, sambil menambahkan bahwa masyarakat Mandailing dari Sumatra Utara, seperti berbagai kelompok masyarakat lain, juga telah menyebar ke wilayah lain selain wilayah aslinya.
Menurut situs web Mandailing.org, masyarakat Mandailing merantau dalam gelombang besar ke pesisir barat Malaysia pada beberapa dekade pertama abad ke 19 akibat Perang Paderi, saat Indonesia belum lahir dan masih bernama Hindia Belanda yang merupakan wilayah jajahan Belanda. Hingga kini, keturunan orang-orang Mandailing masih banyak berada di wilayah negara bagian Negeri Sembilan, Perak, Pahang dan Selangor di Malaysia.
Perantauan masyarakat Mandailing ke Malaysia, tambah Sitok, dengan sendirinya membawa dan menumbuhkan budaya masyarakat Mandailing di sana, seperti halnya migrasi orang Jawa ke Suriname 122 tahun yang lalu sehingga budaya dan bahasa Jawa sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat di negara Amerika Selatan tersebut.
“Apakah masyarakat Mandailing yang ada di Malaysia tidak berhak atas budaya mereka?” ujar Sitok, sambil menambahkan bahwa dengan adanya budaya yang sudah menyebar dari satu wilayah politik ke wilayah politik lainnya, yang penting untuk tetap dijaga adalah saling menghormati dan mengakui di mana budaya itu lahir, berkembang dan dilestarikan tanpa mengklaim kepemilikannya.
“Budaya itu hidup dimana masyarakatnya memang menghidupkannya,” ujar Sitok.
Budayawan dan penyair Sitok Srengenge mengatakan bahwa kebudayaan bukanlah suatu barang mati yang statis dan tidak selalu terkotak-kotak dalam wilayah politik tertentu.
Sitok mengatakan hal itu menyusul berita yang dilansir kantor berita Malaysia, Bernama, Malaysia akan mencatat budaya masyarakat Mandailing, Tari Tor Tor dan alat musik Gordang Sembilan, dalam Undang-Undang Warisan Nasional 2005, yang dinyatakan oleh Menteri Budaya, Komunikasi dan Informasi Malaysia, Datuk Seri Rais Yatim setelah menghadiri peluncuran Komunitas Mandailing di Kuala Lumpur pada hari Jumat (15/6).
Rais mengatakan bahwa mempromosikan seni dan budaya Mandailing adalah penting karena dapat memamerkan asal muasalnya, selain juga mengembangkan persatuan dengan komunitas-komunitas lain dan sejalan dengan konsep 1 Malaysia.
“Budaya bisa berkembang atau mati. Budaya bisa berkembang tidak hanya di satu tempat tapi bisa ke wilayah politik yang lain. Tari Tor Tor, bisa jadi sudah ada sebagai suatu budaya sebelum ada suatu wilayah politik yang bernama Indonesia,” ujar Sitok, sambil menambahkan bahwa masyarakat Mandailing dari Sumatra Utara, seperti berbagai kelompok masyarakat lain, juga telah menyebar ke wilayah lain selain wilayah aslinya.
Menurut situs web Mandailing.org, masyarakat Mandailing merantau dalam gelombang besar ke pesisir barat Malaysia pada beberapa dekade pertama abad ke 19 akibat Perang Paderi, saat Indonesia belum lahir dan masih bernama Hindia Belanda yang merupakan wilayah jajahan Belanda. Hingga kini, keturunan orang-orang Mandailing masih banyak berada di wilayah negara bagian Negeri Sembilan, Perak, Pahang dan Selangor di Malaysia.
Perantauan masyarakat Mandailing ke Malaysia, tambah Sitok, dengan sendirinya membawa dan menumbuhkan budaya masyarakat Mandailing di sana, seperti halnya migrasi orang Jawa ke Suriname 122 tahun yang lalu sehingga budaya dan bahasa Jawa sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat di negara Amerika Selatan tersebut.
“Apakah masyarakat Mandailing yang ada di Malaysia tidak berhak atas budaya mereka?” ujar Sitok, sambil menambahkan bahwa dengan adanya budaya yang sudah menyebar dari satu wilayah politik ke wilayah politik lainnya, yang penting untuk tetap dijaga adalah saling menghormati dan mengakui di mana budaya itu lahir, berkembang dan dilestarikan tanpa mengklaim kepemilikannya.
“Budaya itu hidup dimana masyarakatnya memang menghidupkannya,” ujar Sitok.
Penulis: Ismira Lutfia/Teddy Kurniawan
Sumber : Berita Satu