Frekuensi sonar yang digunakan militer ditengarai mengganggu kehidupan mamalia laut terbesar, paus biru.
Seperti diketahui, paus menggunakan suara yang dipantulkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya. Sistem serupa, berupa sonar, digunakan armada militer untuk navigasi bawah air, mendeteksi obyek, dan berkomunikasi.
Ternyata, frekuensi sonar ini menghalangi panggilan paus sehingga memisahkan paus dari kawanannya. Frekuensi itu juga merusak pendengaran paus.
Sinyal sonar frekuensi menengah (1-10 kilohertz) selama ini dituding sebagai penyebab terdamparnya paus berparuh yang biasa menyelam sangat dalam.
Untuk menguji dampak sonar terhadap pola makan paus biru di pantai California Selatan, ilmuwan memberi perlakuan sonar (3,5-4 kilohertz, tak sekeras peralatan militer) pada sekawanan mamalia laut itu.
Hasilnya, beberapa paus menjauhi lokasi makan (feeding ground) dan sumber suara.
”Paus merespons sonar dengan mengubah perilaku menyelam dan menjauhi sumber suara itu,” kata Jeremy Goldbogen, penulis laporan penelitian ini.
Goldbogen bekerja di organisasi nonprofit Cascadia Research Collective. Berdasarkan laporan National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), saat ini diperkirakan ada 5.000-12.000 paus biru di dunia.
Studi terbaru ini menunjukkan, sonar bisa membahayakan fauna yang terancam punah itu.
”Hasilnya menunjukkan, paparan frekuensi menengah suara buatan manusia bisa signifikan berisiko bagi upaya memulihkan populasi paus biru yang terancam punah,” tulis para peneliti dalam jurnal Biology Letters edisi 3 Juli, seperti dikutip Livescience, Kamis (4/7/2013). (Sonar)
0 Comments