Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengaku sempat mempertimbangkan usulan atau pemikiran untuk memindahkan Ibu Kota dari Jakarta. Terlebih, berbagai wacana tersebut sudah bermunculan di berbagai media dan menjadi pokok bahasan dalam setiap diskusi.
"Empat hingga lima tahun lalu diam-diam saya memikirkan sudah saatnya Indonesia membangun pusat pemerintahan yang baru di luar Jakarta. Waktu itu bermunculan debat dan wacana," kata SBY dalam keterangan pers di sela-sela kunjungan kerja di St. Petersburg, Rusia, Sabtu (7/9), seperti dilansir Antara.
Meski sudah menjadi berbagai perdebatan, SBY memilih diam dan tidak banyak bicara. Namun, secara diam-diam ia membentuk tim kecil untuk mempelajari wacana tersebut.
"Saya memilih diam dan kemudian membentuk tim kecil untuk pikirkan pemindahan ibu kota. Biar pusat ekonomi perdagangan di Jakarta dan goverment centre di tempat lain," lanjutnya.
Pemikirannya itu tak lepas dari pengalaman beberapa negara lain yang berhasil memindahkan ibu kotanya, Malaysia, Australia, Turki dan Kazakhstan. Ia menilai, ada nilai lebih yang dapat dipetik, antara lain tata kota yang lebih baik dan juga hal-hal lainnya dapat membentuk citra positif Indonesia.
Meski begitu, SBY kembali mengingatkan agar Jakarta terus dibenahi dan dikembangkan menjadi pusat bisnis, perdagangan, jasa dan pariwisata. Dengan demikian, Jakarta tetap berkembang menjadi kota yang lebih maju dan menarik.
"Kita sama-sama menyaksikan ibu kota Astana (Kazakhstan-red), yang sangat khas, gedungnya ikonik dengan arsitektur yang luar biasa. Kota yang teratur dengan desain yang bagus," paparnya.
Pilihannya memilih diam dan tidak mengumumkan pembentukan tim kecil itu dilakukan demi menghindari perdebatan publik. Padahal belum didiskusikan dan dipandang lebih luas.
"Saya memilih diam, karena biasanya apapun muncul ide baru langsung didebat dan disalahkan. Sebaliknya, kalau bilang tidak perlu pindah, juga didebat," kata Presiden.
Menurutnya, pembenahan sudah sulit dilakukan bila pusat pemerintahan tetap di Jakarta. Dia meyakini, proses itu bisa dijalani pada pemerintahan berikutnya dengan kemampuan anggaran yang lebih tepat.
Apalagi, pemindahan pusat pemerintahan tidak hanya memakan biaya yang cukup tinggi, tapi juga memerlukan biaya politik. Meski demikian hal itu bisa dilakukan bila memang kebutuhannya sudah mendesak dan didasari kepentingan bangsa dan negara.
"Saya berpikir tugas presiden berikutnya, bila secara ekonomi kita sudah kuat dan tidak ada solusi yang baik untuk Jakarta, maka tidak keliru kita pikirkan tempat yang bisa bangun pusat pemerintahan baru," paparnya.
Rencana atau pemikiran pemindahan pusat pemerintahan telah ada sejak zaman Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memiliki rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Sementara pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, Palangkaraya telah disiapkan untuk menjadi ibu kota menggantikan Jakarta dan terakhir di masa pemerintahan Presiden Soeharto, kawasan Jonggol direncanakan sebagai pusat pemerintahan. (Merdeka)
"Empat hingga lima tahun lalu diam-diam saya memikirkan sudah saatnya Indonesia membangun pusat pemerintahan yang baru di luar Jakarta. Waktu itu bermunculan debat dan wacana," kata SBY dalam keterangan pers di sela-sela kunjungan kerja di St. Petersburg, Rusia, Sabtu (7/9), seperti dilansir Antara.
Meski sudah menjadi berbagai perdebatan, SBY memilih diam dan tidak banyak bicara. Namun, secara diam-diam ia membentuk tim kecil untuk mempelajari wacana tersebut.
"Saya memilih diam dan kemudian membentuk tim kecil untuk pikirkan pemindahan ibu kota. Biar pusat ekonomi perdagangan di Jakarta dan goverment centre di tempat lain," lanjutnya.
Pemikirannya itu tak lepas dari pengalaman beberapa negara lain yang berhasil memindahkan ibu kotanya, Malaysia, Australia, Turki dan Kazakhstan. Ia menilai, ada nilai lebih yang dapat dipetik, antara lain tata kota yang lebih baik dan juga hal-hal lainnya dapat membentuk citra positif Indonesia.
Meski begitu, SBY kembali mengingatkan agar Jakarta terus dibenahi dan dikembangkan menjadi pusat bisnis, perdagangan, jasa dan pariwisata. Dengan demikian, Jakarta tetap berkembang menjadi kota yang lebih maju dan menarik.
"Kita sama-sama menyaksikan ibu kota Astana (Kazakhstan-red), yang sangat khas, gedungnya ikonik dengan arsitektur yang luar biasa. Kota yang teratur dengan desain yang bagus," paparnya.
Pilihannya memilih diam dan tidak mengumumkan pembentukan tim kecil itu dilakukan demi menghindari perdebatan publik. Padahal belum didiskusikan dan dipandang lebih luas.
"Saya memilih diam, karena biasanya apapun muncul ide baru langsung didebat dan disalahkan. Sebaliknya, kalau bilang tidak perlu pindah, juga didebat," kata Presiden.
Menurutnya, pembenahan sudah sulit dilakukan bila pusat pemerintahan tetap di Jakarta. Dia meyakini, proses itu bisa dijalani pada pemerintahan berikutnya dengan kemampuan anggaran yang lebih tepat.
Apalagi, pemindahan pusat pemerintahan tidak hanya memakan biaya yang cukup tinggi, tapi juga memerlukan biaya politik. Meski demikian hal itu bisa dilakukan bila memang kebutuhannya sudah mendesak dan didasari kepentingan bangsa dan negara.
"Saya berpikir tugas presiden berikutnya, bila secara ekonomi kita sudah kuat dan tidak ada solusi yang baik untuk Jakarta, maka tidak keliru kita pikirkan tempat yang bisa bangun pusat pemerintahan baru," paparnya.
Rencana atau pemikiran pemindahan pusat pemerintahan telah ada sejak zaman Belanda. Pemerintah Hindia Belanda memiliki rencana pemindahan ibu kota Hindia Belanda dari Batavia ke Bandung. Sementara pada zaman pemerintahan Presiden Soekarno, Palangkaraya telah disiapkan untuk menjadi ibu kota menggantikan Jakarta dan terakhir di masa pemerintahan Presiden Soeharto, kawasan Jonggol direncanakan sebagai pusat pemerintahan. (Merdeka)